Selamat Hari Ayah, Pa...



                Awalnya aku tak mengerti, kenapa Ayah sering memasang wajah keruh selepas bekerja. Matanya seolah bercerita tentang kelelahannya sepanjang hari, seperti ingin mengeluarkan air bening yang sudah tak tertampung lagi.
                Ketika Ayah masuk ke rumah, kami hanya menatapinya. Lalu kami mulai sibuk dengan urusan kami masing-masing. Abang yang biasa berinteraksi dengan laptop dan musik  rocknya, aku yang kembali dengan tugas-tugas yang menumpuk, dan Ayah yang mandi lalu menonton sampai tertidur.
                Begitulah kebiasaan kami bertiga dirumah. Semenjak kepergian Ibu, tak banyak hal yang biasa kami lakukan ketika Ibu masih ada. Kami seolah peduli pada aktivitas kami masing-masing. Tetapi berbeda dengan Ayah, yang selalu peduli pada kami. Ia menjadi sosok Ayah sekaligus Ibu yang mengayomi kami anak-anaknya.
                Ayah jarang tersenyum. Rasaku, setiap selesai bekerja Ayah hampir tak pernah tersenyum. Ayah hanya tersenyum ketika teman-temannya mengajaknya bercanda, ketika ada anak kecil yang bermain di warung kami. Ayah, abang, dan aku juga menyukai anak kecil. Ayah sering mengajak anak-anak tersebut bermain ke rumah, memberinya kue dan minuman ringan. Anak-anak yang bermain ke rumah pun sangat senang kepada Ayah. 
                Tapi, Ayah jarang tersenyum dan tertawa kepada kami. Seingatku, kami akan tertawa hanya pada malam Tahun Baru saja saat kami dan keluarga yang lain berkumpul dan makan bersama. Saat itu, ayah akan mengeluarkan jurus seribu candaan yang membuat keluarga yang sedang berkumpul akan tertawa terbahak-bahak. Atau pada saat abang dan aku memberi kejutan pada hari ulang tahunnya, ia bisa tertawa sambil menangis.
                ***
                “Nang, beli sepeda motor yok. Mau kau vespa kan?” bujuk abangku yang ingin memiliki vespa.
                “Nggak ah bang, ga suka aku. Kan kata bapak beli yang biasa aja.” Jawabku menolak
                “Ehee, kan kalau beli itu pakai uang bapak. Kalau yang ini pakai uang kita dua, setengah-setengah.” Rayunya lagi.
                “Tapi kan aku ga bisa naik vespa” jawabku cEmberut
                “Kan bisa ku ajari nanggg.” Tambahnya singkat
                “Ah liat nantilah.” Jawabku sambil berlalu.
                Kami memang seperti itu, kalau ingin membeli sesuatu kami akan merundingkannya dulu tetapi tanpa diketahui oleh Ayah. Karena kami lebih suka memberitahu kepada Ayah setelah kami mendapatkan apa yang kami mau, dan itu pun kadang Ayah marah karena menganggap kami boros terhadap uang.
                Abang pun sudah mulai mengumpulkan uangnya, begitupun aku. Tetapi Ia mulai membuka rekeningnya sendiri, dan aku belum karena merasa belum cukup umur.  Dan Ayah pun bangga mengetahui hal tesebut. Setelah berbulan-bulan uangnya terkumpul ia pun mengurungkan niat untuk membeli sepeda motor tersebut. Ia lebih memilih membelikan gitar listrik, dan aku membeli gitar akustik. Ayah hanya tersenyum dan menyuruh kami memainkannya.
***
                Setelah keinginan kami  terpenuhi, aku memberanikan diri bercerita kepada Ayah tentang keadaan rumah yang sekarang. Kecil, sempit dan seperti tidak layak huni. Aku malu pada teman-temanku, mereka selalu mengajakku bermain ke rumahnya, sementara aku selalu mencari-cari alasan untuk menolak ketika mereka ingin bermain ke rumahku.
                Mendengar ceritaku, Ayah diam seolah merenungkan apa yang baru saja ku katakan. Mungkin saja ia tak menyangka aku akan berkata demikian.
                “Tenanglah nang,” kata Ayahku singkat.
                Aku pun berlalu meninggalkan Ayah yang menjaga warung. Ada perasaan takut dan jantungan yang muncul setelah aku mengatakan demikian kepada Ayah. Aku pun berdoa agar Ayah tak marah.
***
                Tak lama setelah itu, aku heran melihat banyak bahan-bahan bangunan di depan rumah ketika aku pulang sekolah. Aku langsung menghampiri Ayah yang sedang menjaga warung dan bertanya.
                “Mau ngapain ini Pak, banyak kali bahan bangunan.”, tanyaku penasaran.
                “Ya mau bangun rumah kitalah nang. Besok mulai dikerjakan” jawab Ayah singkat sambil tersenyum.
                Aku pun tak dapat menahan senyum yang mulai tampak dibibirku, ada perasaan senang campur haru, aku pun langsung masuk ke rumah.
***
 2 bulan telah berlalu.  Dan rumah yang lama telah berubah menjadi rumah yang baru. Rumah yang tampak lebih besar dari yang lama. Bukan itu saja, Ayah membelikan 2 buah televisi. Yang satu televisi 43 inchi dan satu lagi 21 inchi, kata Ayah satu diluar dan satu untuk di dalam. Ayah juga membeli sofa yang baru serta kulkas.
Begitulah Ayah yang bukan hanya memikirkan dirinya sendiri. Ayah yang kelihatan begitu keras dan hemat, yang kelihatan galak. Tapi, kami merasakan  kekerasan Ayah itu hanya pada bentuk dan cara mendidiknya saja, sedangkan pada pola asuh, Ayah sangat memanjakan kami, memberi kasih sayang, dan banyak nasihat berharga.
***
                Sekarang bulan November, Ayah dan abang pun memberi aku kejutan yang sama sekali tak ku duga. Ayah dan abang memberi ku kue ulang tahun berbentuk Spongebob yang merupakan karakter kartun kesukaanku. Ayah dan abang memelukku serta memberi harapan dan doa-doa mereka agar aku lebih baik lagi diusia 18TH ku.
                10 hari kemudian, tepatnya tanggal 12 November adalah Hari Ayah. Aku dan abang mengucapkan “Selamat Hari Ayah” pada Ayah tercinta.
                “Selamat Hari Ayah, Pa…” begitulah aku dan abangku mengatakannya sambil berpelukan.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi dan Sinopsis Novel Matahari - Tere Liye

Terbiasa dengan Luka

Hai, Aku Matilda