Malam untuk Dikenang
Saya mengakuinya. Saya tidak dikaruniai kulit yang sempurna. Sejak saya berumur tiga belas tahun, saya menjadi remaja yang pendiam. Hampir dalam semalam, wajah mulus saya, dengan kulit yang berwarna seperti buah pir dan susu, meledak menjadi sebuah sumber penderitaan peradangan raksasa yang terjadi sepanjang sisa masa sekolah menengah. Jadi, ketika pesta perpisahan senior saya, —salah satu peristiwa yang paling dinantikan pada masa sekolah menengah saya— akhirnya tiba, saya... tidak punya teman kencan. Saya tahu bahwa jerawat saya yang harus disalahkan. Sementara teman-teman lain dengan kulit seperti porselen berdansa sepanjang malam di salah satu Balroom Hotel di kota ini, dan saya hanya akan tinggal di rumah menonton film bersama keluarga saya. Abang dan Ayah mencoba bersimpati. Mereka berkata bahwa mereka selalu berdoa untuk kesembuhan saya. Saya begitu sering mendengarkan dari kitab Roma 5 hingga saya telah menghafalkan satu pasal tersebut: “Dan karena kita tahu, bahwa ke