Malam untuk Dikenang

Saya mengakuinya. Saya tidak dikaruniai kulit yang sempurna. Sejak saya berumur tiga belas tahun, saya menjadi remaja yang pendiam. Hampir dalam semalam, wajah mulus saya, dengan kulit yang berwarna seperti buah pir dan susu, meledak menjadi sebuah sumber penderitaan peradangan raksasa yang terjadi sepanjang sisa masa sekolah menengah.

Jadi, ketika pesta perpisahan senior saya, —salah satu peristiwa yang paling dinantikan pada masa sekolah menengah saya— akhirnya tiba, saya... tidak punya teman kencan. Saya tahu bahwa jerawat saya yang harus disalahkan. Sementara teman-teman lain dengan kulit seperti porselen berdansa sepanjang malam di salah satu Balroom Hotel di kota ini, dan saya hanya akan tinggal di rumah menonton film bersama keluarga saya.

Abang dan Ayah mencoba bersimpati. Mereka berkata bahwa mereka selalu berdoa untuk kesembuhan saya. Saya begitu sering mendengarkan dari kitab Roma 5 hingga saya telah menghafalkan satu pasal tersebut: “Dan karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan  tidak mengecewakan, karena kasih  Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus  yang telah dikaruniakan kepada kita..”

Akhirnya, malam perpisahan yang saya takutkan tiba dan temanya yang kejam adalah “Malam untuk Dikenang”. Yang membuat saya lebih buruk, sahabat saya mendapat kencan ke pesta dansa itu sedangkan saya tidak. Sore itu, saya menemukan diri saya tanpa apa pun untuk dikerjakan selalin membantu sahabat saya menjadi penata rambut, perias wajah dan konsultan  mode untuk sahabat saya yang akan pergi ke pesta dansa. Sambil menahan air mata, dengan setengah hati saya mengucapkan selamat bersenang-senang setelah saya selesai mendandaninya. Dia memeluk saya, bertanya apakah saya tidak berubah pikiran dan minta ikut ke pesta dansa tersebut. Tetapi tekad saya sudah bulat, saya tidak akan pergi.

Begitu sahabat saya sudah pergi, saya duduk di sofa dengan remote control TV. Saya hanya ingin malam itu berlalu.

Lalu telepon berdering. Itu Ny. Denise, istri pendeta pemuda kami.
“Tri, kamu harus menolong saya,” ia memohon. “Pengasuh saya membatalkan pada menit terakhir. Kami hendak pergi ke Acara Sunday School tahunan. Dapatkah kamu menolong menjaga Evan?”

Hal terakhir yang ingin saya lakukan adalah menghabiskan malam bersama Evan, anak umur empat tahun yang superaktif, imut dan menggemaskan.

Saya tiba di rumah keluarga Ny. Denise dan mendapati Evan memakai sebuah topi koboi, penuh lumuran cat untuk lukisan dengan jari atau tangan.

“Ia sedang melukis sebuah kandang karton untuk kuda khayalannya.” Ny. Denise menjelaskan. “Sejak kami nonton film tua itu, Tombstone, ia terjerat dalam zaman koboi. Terima kasih banyak karena kamu dapat menggantikan, Tri.” Katanya, buru-buru keluar pintu. “Oh ada makan malam di lemari makan dan makanan ringan di dalam lemari es.. dan waktu tidur adalah pukul delapan.”

Tepat saat pintu dibanting, Evan berjalan ke dapur. Ia menyeret tanah dan rumput dari halaman belakang pada ujung tumit sepatunya yang kebesaran.

“Apa yang kamu masak untuk makan malam nona? Saya seorang koboi yang lapar.” Ia menyatakan hal yang sebenarnya. Saya membuka lemari makan dan mendapati ayam goreng sebagai makan malam — Sempurna pikir saya.

Setelah makan malam saya dan Evan pergi ke ruang bermain. Ia mau menujukkan kepada saya cara melakukan dansa dan irama. Alangkah ironisnya, pikir saya. Anak perempuan lain seumur saya sedang menghabiskan malam berdansa di bawah lampu disko yang berputar di tengan teman kencan impian mereka. Dan saya di sini, melakukan dansa dua irama degan anak lelaki kecil yang mengenakan sarung pistol plastik.

Bagusnya, ketika waktu tidur Evan tiba, saya sudah menghabiskan begitu banyak waktu bermain koboi sehingga saya berhasil melupakan situasi pesta perpisahan yang menekan. Namun, ketika saya menidurkan Evan, saya diingatkan pada alasan saya menyanyikan lagu nina bobo saat api unggun sebagai ganti mendengarkan lagu cinta yang romantis.

“Kak Putri, apa bintik merah di wajahmu itu?” tanya Evan tanpa rasa bersalah ketika saya membugkuk untuk memberinya ciuman selamat malam. Jantung saya berhenti. Bagaimana saya dapat menerangkan penderitaan jerawat remaja kepada anak berumur empat tahun yang berkulit halus? Sebelum saya dapat menjawab, Evan mengulurkan tangannya, mengelus pipi saya, dan menyatakn dengan cara bicara koboi yang lembut tetapi terbata-bata, “Menurut saya, hal itu terlihat indah di wajahmu, nona.”

Komentarnya menyentuh saya seperti sesuatu yang lucu sehingga saya kemudian tertawa keras. Saat saya memberinya pelukan selamat malam, melewatkan malam perpisahan senior saya tidak terlihat sebagai suatu masalah besar lagi. Bapa saya di sorga, dalam hikmat-Nya yang tidak terbatas, telah menggunakan bocah koboi kecil ini untuk mengingatkan bahwa saya cantik. Dan pengaruhnya bagi harga diri saya jauh lebih besar daripada yang dapat diberikan fantasi malam perpisahan berlebihan mana pun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi dan Sinopsis Novel Matahari - Tere Liye

Terbiasa dengan Luka

Hai, Aku Matilda