Gadis Hujan






Bulan Sebelas . Bulan di mana musim hujan sedang ramai-ramainya . Di bulan ini pula gadis itu lahir . Tetapi bulan kelahiran ini , baginya tidak lebih sebagai perayaan sekian masalah kehidupan .
***
                Dia banyak berubah . Dia berubah menjadi gadis yang selalu menjauhi kehidupan . Entah mengapa . Padahal , dulu sebelum semuanya terjadi dia adalah gadis yang selalu ceria dan menarik di mata orang lain . Dia menyimpan kesedihan dalam-dalam dan berusaha tersenyum dalam situasi apapun . Teman-teman , kenalan , tetangga sangat menyukainya . Ia mengajarkan anak-anak membuat berbagai macam kreasi dari kertas origami , membagikan kue-kue coklat pada hari libur . Anak-anak sangat senang melihatnya datang ke rumah mereka dan menjulukinya “Peri Baik” .
                Tapi, dari waktu ke waktu dia semakin mengasingkan dirinya ke dalam kesepian yang menakutkan . Dia sering tiba-tiba menangis , terlihat seperti anak kecil yang tidak mendapat kue buatannya . Bahkan , dia sering merasa betapa kesunyian itu bagai ujung pisau yang mengarah ke jantungnya . Karena itu , dia lebih memilih segera pergi ke suatu tempat dimana kesunyian tumbuh dengan semestinya .
***
                Tempat itu terletak dipinggir kampong, persis berada diatas bukit . Dibawah bukit itu mengalir sungai kecil dengan ikan-ikannya yang bersembunyi dibalik rumput air dan bebatuan . Sejak lama , dia terobsesi pada tempat ini . Tempat dimana dia bisa menenangkan dirinya dan kesunyiannya . Oleh karena itu dia lebih memilih tinggal disini , daripada di kota . Tempat yang hanya akan mengingatkannya pada kedua orangtuanya dan kekasihnya .
                Belakangan ini dia benar-benar ingin menjauh dari siapa pun . Menolak bergaul dengan orang lain . Tepatnya berhenti . Ia memutuskan diri dengan masa lalu . Dia ingin hidup sebagai manusia baru di tempat yang baru .
***
                Seseorang meneleponnya tadi pagi . Cuma beberapa teman lama saja yang tahu nomornya dan mereka tidak terlalu sering bertukar kabar . Dia hampir saja mengabaikan si penelepon kalau saja orang itu tidak memanggilnya Trisa . Tidak banyak dari teman-teman yang tahu nama kecilnya itu . Hanya beberapa teman dekatnya .
                Dia benar-benar tidak mengenali suara itu . Ketika orang itu menyebutkan sebuah nama , dia butuh satu menit untuk mengembalikan memori ingatannya tentang lelaki tampan pada masa lalu . “Alif!” serunya .
                Mereka dulu kuliah di universitas yang sama . Tepatnya di jurusan yang sama pula . Jurusan Psikologi . Sementara Alif masih terus melanjutkan kuliahnya , dia lebih memilih mundur karena alasan sakit .
                Dia kadang cemburu pada Alif yang seakan tidak pernah lelah . Alif yang punya semangat tinggi . Alif yang pernah berkata saat menemukannya mengigil dipintu jurusan , “Kau bisa mengandalkanku , Tri . Kau tak sendirian .” Lelaki itu cukup tahu tentang kehidupannya . Tentang pada satu waktu dia mendadak diserang rasa ketakutan dan berlari menangis di pintu toilet dan Alif memberikan tangannya untuk dia genggam dan dia berkata, “Ini sudah saatnya aku menyerah , Alif.”
                Mereka diam untuk sepuluh detik . Mereka membiarkan lintasan kenangan berlesatan .
                “Tri, ini bulan November bukan?” tanya Alif kemudian . “Apa yang paling kau inginkan di bulan kelahiranmu?”
                “Kau masih mengingatnya?”
                “Kau benar-benar lupa Tri , bahwa tepat pada hari ulangtahunmu , tiga tahun yang lalu , minggu pertama bulan November , ada hal lain yang terjadi dan membuat aku selalu mengingat hari kelahiranmu?”
                “Maaf” katanya, “ada banyak yang teradi di bulan kelahiranku, dan semuanya berwarna gelap”
                “Tri,” suara di seberang seakan tengah membujuknya .
                “Baiklah, apa yang terjadi pada hari itu?”
                “Hari itu kau mengenakan blus ungu dengan pita yang cukup besar dan tanganmu tengah memegang sebuah novel , yang aku lupa apa judulnya.” Suara di ujung telepon agak mengambang .
                Dia memutar kembali ingatan ke belakang dan sayang sekali tidak menemukan bayangan tentang apa yang dikatakan Alif . Lagi pula apa yang istimewa dengan baju warna ungu . Itu warna kesukaannya . Dia terlalu sering pakai baju ungu . Kemungkinan saat itu dia memang memegang novel . “Itu biasa sekali.” Dia berkata apa adanya .
                “Sama sekali tidak biasa Tri . Pada hari itu aku datang ke mejamu dan mengatakan kalau aku dan Vivin akan berpisah . Kalau saja pada saat itu kau tidak mengenakan blus ungu , mungkin saja aku sudah menangis dan marah pada Vvin di hadapanmu . Ingat Tri , warna tertentu bisa memengaruhi emosi seseorang . Ah, apa kau mendengar kabar kematian Vivin satu bulan lalu?”
                “Tidak,” sesalnya . Mendadak dia merasa demikian jauh dari pusat kehidupan . Tak ada kabar apa-apa yang sampai . Namun dia tak hendak mengungkit soal Vivin atau bertanya macam-macam tentang apa penyebab kematiannya . Sudah terlalu banyak kematian dalam hidupnya . Kawan lamanya  itu butuh teman yang mendengarkan saat sedikit mengenang tentang mantan kekasihnya . Itu sudah cukup baginya .
                Kemudian , dengan keputusan sepihaknya , Alif menginginkan mereka berkumpul lagi dihari kelahiran pada pertengahan bulan sebelas , minggu depan .
                Dia cuma sekali mengadakan pesta , saat umur 18 tahun . Itupun karena mama memaksanya . Mama ingin sekali bertemu teman-temannya . Dia mengundang teman-teman kuliah . Sekitar 10 orang . Hari itu mama tampak bahagia . Dia menciumi teman-temannya dengan mata basah . Pada malam harinya mama berbisik padanya, “Paling tidak jika aku pergi dari dunia ini , aku tahu kau memiliki banyak teman yang manis dan menyenangkan yang akan menjagamu untuk tetap bisa tersenyum .” Pagi harinya , saat bangun , dia menemukan mama tidak bergerak lagi disampingnya .
                Setelah itu dia tak pernah lagi mengadakan pesta ulang tahun . Dia merayakan bulan sebelas dengan cara duduk sendirian di cafĂ© , mengenakan baju warna ungu , memegang sebuah novel , memesan sebuah kopi , sambil mengingat kematian mama .
                Alif menanayakan siapa saja yang dia ingin hadirkan di perayaan November . Dia bilang , aku tidak tahu . Sebenarnya dia menginginkan mama dan Dian . Pada mam dia ingin sekali lagi bertanya mengapa papanya pergi duluan . Pada Dian , lelaki yang membuatnya tidak bisa jatuh cinta lagi setelah kematiannya yang tragis dalam sebuah kecelakaan motor di bulan sebelas , dia ingin minta lelaki itu melepaskan hatinya .
                Apa kau bsa menghadirkan mereka Alif?
                Bulan sebelas , bulan kelahirannya , memang menjadi tempat bagi beberapa kematian . Sebab itu , selama ini dia lebih suka merayakannya dengan caranya sendiri .
                Tetapi Alif telah mengatakan akan mengatur segalanya . Dia cuma perlu memastikan bahwa kesehatannya cukup baik untuk perlu melakukan perjalanan ke kota selama dua atau tiga hari .
***
                Hujan turun sejak mobil yang dia tumpangi memasuki kota . Lagu November Rain pun menjadi lagu favoritnya saat hujan . Sebelumnya , dia telah memeberitahukan pada Alif bahwa dia langsung ke penginapan . Alif akan menjemputnya satu jam lagi . Mereka akan berkumpul di sebuah kafe yang lelaki itu merahasiakan namanya  Mungkin Alif mau member kejutan . Kafe itu sudah dipesan dan tak ada pengunjung lain yang datang selain teman-teman mereka , dari sore hingga malam nanti .
                Dipikirannya ketika memasuki kota ini , justru tentang rumput yang sangat tinggi di halaman rumahnya , tanaman rambat yang menjalar sampai ke atas atap rumahnya . Dia takut kalau tumbuhan-tumbuhan liar itu bisa merusak rumahnya yang sudah terlalu banyak menyimpan kenangan . Rumah yang tiak akan dia lepaskan pada orang lain sebelum dia mati .
                Kembali dia menelepon Alif , mengatakan kalau dia akan meninggalkan penginapan sebentar . Jika terlambat kembali . dia minta Alif menunggunya .
                “Kau bisa memberitahuku akan pergi ke mana , Tri?”
                Dia sudah menutup telepon . Dia buru-buru . Dipesannya taksi . Menunggu sepuluh menit . Taksi datang . Dia tak ingin terlalu terlambat datang nanti dan mengacaukan apa-apa yang sudah dilakukan Alif .
***
                Dia berdiri di dekat pintu pagar , berteduh di bawah payung . Tidak ada rumput tinggi dan tumbuhan yang menjalar sampai atap rumahnya seperti yang dia bayangkan . Cuma rumput-rumput kecil yang kurus di sela-sela kerikil yang basah . Air matanya jatuh . Sebutir . Lalu dua . Tiga . Dia melongokkan kepala ke dalam . Sepi . Tentu saja tidak ada siapa-siapa disana . Siapa yang membersihkan rumput di halaman? Mungkin tetangganya .
                Rumah-rumah lain juga sepi . Anak-anak yang biasanya ramai, tidak satupun keluar rumah . Tere . Axel . Si Kembar Nadira dan Nadiva . Mereka semua penggemar kue-kue buatannya . Mereka pasti sudah besar sekarang . Sudah duduk di SMP atau SMA . Sudah repot dengan les-les tambahan .
                Dia menatap sekali lagi halaman rumah . Lalu dia lihat jendela-jendela  , juga pintu . Di pintu itu mama melambaikan tangan , melepasnya pergi sekolah . Di pintu itu , ketika dia berumur 17 tahun , mama sering bilang kalau potongan gaun yang dia kenakan terlalu pendek , tapi dia memebela diri dengan mengatakan teman-temannya juga mengenakan gaun yang serupa . Di pintu itu , jelang malam , dia dan mamanya senang melihat langit dan sekali waktu dia berkata: seharusnya papa ada disini . Untuk pertama kali mama mengakui kalau dia sengaja tidak ingin memberikannya seorang papa lagi dan tak ingin membicarakannya lagi .
                “Kau boleh kecewa pada mama.” Ujar mamanya mendesah
                Dia tidak bisa memutuskan apa kecewa atau tidak . Dia diam saja . Selama satu minggu dia menghindari berbicara dengan mama .
                Di pintu yang sama , kekasihnya , Dian , pamit pulang sehabis menemaninya belanja buku . Di pintu itu terakhir kali ia melihatnya .
                Di pintu itu , disaksikan hujan  , dia pernah menangis setelah benar-benar sendirian . Lalu dia berkata kalau harus melanjutkan hidup . Sejak itu dia sibuk sekali , menjadi manusia baik hati bagi orang lain , dan lupa memebahagiakan diri sendiri .
                Sebutir lagi air matanya jatuh . Kemudian tak terhitung lagi .
                Dia tak akan masuk ke dalam sekarang . Mungkin besok . Alif pasti sedang menunggunya . Mereka harus berangkat ke pesta ulang tahun . Dia tidak tahu siapa saja yang akan datang .
                Dia segera berbalik . Dan … dua meter di depannya , dia melihat Alif tersenyum , memegang payung . Dia merasakan ada ledakan kecil di dadanya . Alif tetap saja tampan . Rambutnya masih hitam . Dan diberi minyak , seperti biasa . Tubuhnya berdiri tegak bagai kayu yang kuat .
                “Aku tahu akan menemukanmu disini, Tri.” Alif mendekat . Membuang payungnya . Memeluk . “Sejak lima tahun lalu , aku selalu ingat baju ungumu dengan pita yang cukup besar , dan itu membuatku menemukanmu.”
                Dian, apa kau sudah melepaskan hatiku tepat ketika Vivin melepas hati Alif?
                Hujan terus turun dibelakang punggung mereka . Kalau boleh memilih , dia lebih suka hujan di pagi hari ketimbang sore . Tapi sekarang dia menerima semua hujan yang turun di bilan sebelas , bulan kelahirannya , dengan hati yang megar .

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi dan Sinopsis Novel Matahari - Tere Liye

Terbiasa dengan Luka

Hai, Aku Matilda