Mengelakarkan Sakralitas Kematian
Judul : Pena Sudah Diangkat, Kertas Sudah
Mengering
Penulis :
Hasan Aspahani
Cetakan :
September, 2016
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Tebal :
177 halaman
Kategori :
Kumpulan Puisi
ISBN :
976-602-03-3402-8
Bukanlah hal yang tabu,
bila menggoreskan untaian puisi dengan tema kematian. Ya, kematian, sebagai
sebuah tujuan etis yang tak terhindarkan dari kehidupan. Tak luput penyair
Hasan Aspahani melalui buku puisinya Pena
Sudah Diangkat, Kertas Sudah Mengering. Dengan lancing dia mengangkat tema
sakral tersebut. Apiknya, tema ini dia kompilasikan dengan cara yang
berkelakar.
Hasan Aspahani, seorang
penyair kelahiran 9 Maret 1971 berasal dari Kalimantan Timur. Sejak smasa
kuliah dia telah rajin menulis puisi. Kemudian dia menjadi wartawan, hingga
menjabat Wapemred di salah satu surat kabar di Batam. Sampai saat ini,
setidaknya dia telah melahirkan enam buku puisi. Antara lain: Orgasmaya, Telimpuh, Luka Mata. Lelaki yang
Dicintai Bidadari, Mahna Hauri dan terakhir Pena Sudah Diangkat, Kertas Sudah
Mengering.
Judul yang terakhir
disebut dapat dikatakan mewakili kegemilangan kepenyairannya. Bagaimana tidak,
setelah menyeingkirkan 245 buku puisi sebagai pesaingnya. Buku Pena Sudah Diangkat, Kertas Sudah Mengering
berhasil meraih penghargan utama Anugrah Hari Puisi Indonesia 2016. Betapa
spektakuler!
Dewan juri HPI 2016
yang terdiri dari Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bhari dan Maman S. Mahayana.
Menjelaskan dalam pertanggungjawaban dewan juri HPI 2016 bahwa banyak hal yang
ditawarkan penyair kita saat ini. Sebagian besar mencoba keluar dari
bentuk-bentuk klise. Dengan coba menawarkan model estetik yang berbeda.
Setidak-tidaknya, mereka mencoba menghindar kelaziman. Menawarkan kekhasan,
coba bermain dengan gaya bahasa yang lebih segar dan baru.
Dilihat dari estetika
puisi, para penyair tampaknya hendak menempatkan puisi sebagai pergulatan
bahasa. Juga pemikiran, kecamuk gagasan dan menegaskan sebuah proses panjang
perenungan. Meskipun juga tidak sedikit yang cenderung bermain-main dengan
bahasa yang cair. Tanpa perenungan, tanpa penggalian, tanpa usaha melakukan
eksplorasi potensi bahasa.
Hasan Aspahani melalui Pena Sudah Diangkat, Kertas Sudah Mengering
terlihat begitu tota;otas. Begitu cermat mengeksplorasi bahasa secara matang. Dia
persatukan sebagai sebuah benang merah dalam tema dominan kematian. Dia berhak
meraih penghargaan utama HPI 2016 dengan nominal hadiah sebesar Rp 50 juta.
Pena
Sudah Diangkat, Kertas Sudah Mengering merupakan judul yang
diambil dari kalimat terakhir hadist ke-19. Dari kumpulan 40 hadist yang
dikumpulkan oleh Imam An-Nawawi, yang termashyur sebagai Hadist Arba’in.
Dalam kumpulan puisi setebal
177 halaman ini, dominasi sakralitas kematian telah dikelakarkan oleh Hasan
Aspahani. Kematian merupakan sebuah peristiwa yang ditakuti sebagian orang. Sebaliknya,
ada pula yang merindukan datangnya kematian: proses berpisahnya nyawa (ruh)
dari tubuh.
Puisi dapat dikatakan
sebagai salah satu solusi untuk menyalurkan ekspresi. Berkelakar atau
bermain-main soal kematian sungguh jarang ditemukan. Kematian telah kita anggap
“maut yang memenggal tanpa ampun”. Persepsi inilah yang dipatahkan oleh Hasan
Aspahani.
Goenawan Mohammad dalam
komentar penutup menuliskan: “Tak ada tema yang menyatukan kumpulan (puisi)
ini. Jika ada benang merah di dalamnya (setidaknya yang bisa saya simpulkan,
dengan penuh risiko): hidup tak membosankan dan kematian disambut dengan ringan”.
Dengan pandangan, kematian harus disambut dengan suka cita, dengan gembira
bahkan selebrasi. Puisinya dia kemas dengan kelakar yang tentunya diusahakan
agar sikap yang terkandung di dalamnya tidak terasa angker.
Dia akhirnya bisa juga menidurkan diri, setelah
sukses menjadi satu-satunya pembicara
dalam seminar sehari: “Cara Praktis dan Mudah
Menyelenggarakan Jenazah. Bukan Jenazah Sendiri”.
Kepada panitia, dia tak minta honor apa-apa.
Kecuali beberapa hadiah sponsor:
segulung kafan langsung dari pabrik kain;
kupon diskon 50 persen toko keranda;
gratis mobil jenazah kapan saja perlunya;
dan kavling kuburan di taman pemakaman.
“Lumayan,” katanya. Sebelum terpejam.
“Sekarang aku tinggal memikirkan, kapan
saat yang paling tepat untuk ditalkinkan....”
Dua larik terakhir dari puisi Seperti Mandi yang
Terakhir Kali (hal.2) di atas. Menyebabkan Sapardi Djoko Damono (dalam
catatan pengantar buku ini) merasa takut dan khawatir. Meski kekhawatirannya
tidaklah beralasan. Sapardi merasa kesan pertama sehabis membaca buku ini,
bahwa Hasan Aspahani mengucapkan selamat berpisah kepada kita.
Kematian tentulah akan sangat menakutkan bagi mereka
yang tidak taat dalam beragama. Apalagi dihantui oleh rasa dosa dan bersalah
yang telah dilakukan selama hidupnya.
Kekhawatiran akan kematian adalah hal wajar. Mengingat
alam yang dituju disana ialah alam kekekalan. Tempat segala akan abadi, tidak
berkurang-tidak bertambah.
Penyair haruslah memiliki kepekaan mengeksplorasi
bahasa secara estetik dan bermakna. Puisi yang ditetaskan penyair bisa
dianggap sebagai puisi main-main, atau bisa jadi serius. Apa yang dilakukan
Hasan Aspahani adalah main-main. Dia bercanda dan mengajak kita melebarkan
senyum lewat puisi-puisinya. Meski, ekstrimnya canda itu bertema sakralitas
kematian.
Ini restoran kehidupan. Tanpa kursi. Tanpa
keranda./Pada daftar hanya ada sebuah menu khusus: Kematian.
Dalam puisi Menu Khusus pada Sebuah Restoran
(hal.4) ini, restoran menampung konsep. Diusung Hasan sebagai penyair tentang
kemestian kematian. Larik ini terbilang klise, tersebab dia menyebutkan
sebagai ‘restoran kehidupan’ yang punya satu menu ‘ke-matian’.
Entah mengapa saat membaca puisi ini saya teringat
dengan potongan puisi Kematian karya Pablo Neruda (1904-1973). Jika
tiba-tiba kau sirna/ jika tiba-tiba kau tiada hidup lagi/ aku akan tetap
hidup/ aku tak berani/ aku tak berani menulis lagi/ jika kau mati/ aku akan
tetap hidup. Puisilah yang akan mewakili diri kita, setelah kematian menjemput.
Aku akan tetap hidup. Puisilah yang akan berbicara, dengan itulah
orang-orang mengenang kepergian kita. Hasan Aspahani telah melakukannya.
(Oleh: Muhammad Husein Heikal)
Terima kasih. Salam..
BalasHapusTerima kasih kembali..
BalasHapus