Berdamai dengan Hati

Pagi ini kudapati diriku dengan sebuah senyuman, bukan senyuman yang mekar seperti biasanya tetapi senyum kecut karena terpaksa.
Apalagi yang salah dengan dirimu?
Apakah hatimu terluka lagi? Batin tubuhku.
Aku tidak baik-baik saja, rasaku.
Dan aku membuka mulut lalu mulai bercerita,
Aku pernah kehilangannya dalam dua waktu.
Pertama, karena keegoisanku.
Kedua, karena orang baru.
Karena terlalu jauh mencintainya.
Hingga aku lupa, jika yang dikejar semakin menjauh maka harusnya aku sudah berhenti mengejar jauh-jauh hari.
Tapi aku tak mampu, tak mampu melihat punggung yang menjauh dan aku takut ia tak akan kembali, hingga pada akhirnya ya ia memang tidak kembali.
Aku sudah tertawan waktu itu, terbuai dengan janji-janji dengan bunga-bunga imajinasi warna-warni yang ia ucapkan.
Padahal, itu hanya semu semata, tak pernah nyata.
Aku pernah menaruh harapan besar yang akhirnya malah dirusaknya.
Logikaku terasa lumpuh, hatiku tak lagi berseri.
Aku telah salah mencintainya,
Aku harus bisa berdamai dengan hatiku, melupakan masa lalu.
Aku berhak diperjuangkan oleh ia yang ingin memperjuangkan, bukan begitu?
Pagi ini, kuakhiri dengan senyum mulai merekah, senyum tulus bukan seperti menit-menit sebelumya.
Aku menginginkan sedikit lebih cerdas lagi soal menyikapi patah hati.
Bermohon agar jangan mau bodoh karena lelaki
Sesekali perlu menjadi egois demi kesenangan pribadi
Aku harus lebih bahagia agar bisa membahagiakan orang lain, meskipun aku tahu aku tak bisa membahagiakan semua orang, aku tau aku tak punya cukup tenaga untuk itu.
Setelah ini, aku akan belajar bertahan dengan orang yang mengajakku bertahan juga
Setelah ini, aku akan belajar memperjuangkan orang yang memperjuangkanku juga
Rasaku. Itu tidak berat jika dua hati memutuskan bertaut dan saling bekerjasama.
Selamat menyambut bahagia, hati yang mulai pulih dari sakitnya.
Komentar
Posting Komentar