Dilarang Mencintai Bunga-Bunga
Judul :
Dilarang Mencintai Bunga-Bunga
Penulis :
Kuntowijoyo
Penerbit : Noura Books
ISBN :
9795410253
Tebal :
292 hlm.
Menangis adalah cara
yang sesat untuk meredakan kesengsaraan. Kenapa tidak tersenyum, Cucu.
Tersenyumlah. Bahkan, sesaat sebelum orang membunuhmu. Ketenangan jiwa dan
keteguhan batin mengalahkan penderitaan. Mengalahkan, bahkan kematian.
******
Cerpen “Dilarang Mencintai
Bunga-Bunga” bercerita tentang seorang anak laki-laki bernama Buyung yang
menyukai bunga, tetapi ditentang keras oleh ayahnya. Cerita dimulai dengan
kepindahan keluarga Buyung dari desa ke kota. Di kota, rumahnya bersebelahan
dengan sebuah rumah berpagar tembok tinggi. Dari orang-orang, Buyung mendapat
kabar bahwa rumah itu dihuni oleh seorang kakek yang hidup sendiri. Karena
terdorong rasa penasaran yang kuat, akhirnya ia mengintip rumah itu dengan naik
ke pagar tembok melalui pohon kates di pekarangan rumahnya. Ia kaget ketika
menyaksikan pemandangan halaman rumah itu yang penuh dengan banyak bunga.
Namun. Ia tak berhasil melihat kakek. Ia pun bertanya pada orang-orang tentang
kakek, tetapi tak satu pun yang mengetahuinya. Walaupun kawan-kawannya
mengejek, ia tetap mencari informasi tentang kakek. Sampai suatu hari, ia
bisa bertemu kakek itu secara dekat. Pada pertemuan pertama, kakek
memberinya bunga yang diselipkan pada tangannya. Anehnya, ia langsung mencintai
bunga itu. Ayahnya menentang dan menghancurkan bunga itu. Buyung merasa sedih.
Sejak itu, Buyung sering mengunjungi
rumah kakek dan pulang membawa bunga ke rumah. Bunga itu ia simpan di kamarnya.
Ayahnya marah besar melihat hal itu. Akhirnya terjadilah perang dingin antara
ia dan ayah. Ia menghindari bertemu ayah. Ia lebih memilih mengurung diri di
kamar sambil menatap bunga-bunga atau pergi ke rumah kakek. Ayahnya tak
menyukai hal tersebut, maka disuruhlah Buyung bekerja di bengkel yang berada di
halaman rumah. Praktis, seluruh waktu yang dimilikinya habis untuk sekolah,
mengaji, dan bekerja. Ia hampir tak punya waktu untuk berkunjung ke rumah
kakek. Ketika ada kesempatan, barulah ia dapat menemui kakek. Saat itu, ia
menanyakan pekerjaan kakek. Kakek menjawab bahwa ia mencari hidup sempurna
melalui bunga. Ia juga bertanya pada ayah. Ayahnya menjawab bahwa ia mencari hidup
sempurna melalui bekerja.
”Engkau mesti bekerja. Sungai perlu
jembatan. Tanur untuk melunakkan besi perlu didirikan. Terowongan mesti digali.
Dam dibangun. Gedung didirikan. Sungai dialirkan. Tanah tandus disuburkan. Mesti.
Mesti, Buyung! Lihat tanganmu!” kata ayahnya.
Buyung pun menemukan jawaban bahwa
kedua tangannya harus digunakan untuk bekerja. Kemudian, cerita ditutup dengan
sebuah kalimat singkat, ”Bagaimanapun aku adalah anak ayah dan ibuku”.
******
Cerita yang sungguh menarik bukan?
Berkisah tentang bunga. Biasanya bunga memang disukai perempuan. Akan tetapi,
bagaimana jika ada laki-laki yang menyukai bunga? Salahkah? Pengarang akhirnya
mengangkat pertanyaan itu ke dalam sebuah cerpen. Pengarang berani mendobrak
suatu kebiasaan yang ada di masyarakat. Ide yang berkembang bahwa seorang
laki-laki harus jantan, tidak boleh feminim, dan tidak boleh menyukai sesuatu
yang hanya boleh dilakukan perempuan, ia langgar.
Dengan keapikan kata yang dirangkai, membawa
cerpen ini menjadi pemenang pertama Sayembara Cerpen Majalah Sastra pada 1968. Cerita pendek selalu bisa mencatat
hal-hal yang kadang kala jauh berada di luar main-stream pemikiran
biasa. Ia bisa menukik – bahkan kadang tak terduga – dan menggedor atau
menentang teori-teori yang berkembang dalam membedah sebuah kasus. Seno Gumira
Ajidarma, salah seorang sastrawan terkemuka di Indonesia, pernah mengatakan
dalam sebuah kredonya bahwa fiksi adalah
pembocoran dari sebuah fakta. Fiksi – dalam pandangan Seno – harus mampu
menuliskan realita lain dari fakta yang dibekukan secara politis. Kuntowidjoyo
dalam cerpen ini telah melakukan hal itu. Ia tidak berbicara tentang bunga yang
disukai perempuan, tetapi seorang laki-laki yang mencintai bunga. Lebih dari
itu, ada hal penting yang juga menarik diungkit, yaitu gambaran bagaimana
seseorang harus memandang hidup. Hal itu pengarang sampaikan melaui
tokoh-tokohnya. Tokoh kakek memandang hidup untuk mencari ketenangan jiwa (ia
mendapatkannya melalui bunga-bunga). Sebaliknya, tokoh ayah menganggap hidup
untuk bekerja (cenderung mementingkan dunia).
Sederhana tapi
menghanyutkan, begitulah cerpen-cerpen karya Kuntowijoyo. Permasalahan
sehari-hari yang diangkat membuat jalan ceritanya terasa ringan, tapi sarat
makna. Bacalah buku ini, dan Anda akan mulai merenung tentang bagaimanakah Anda memandang hidup
ini..
Komentar
Posting Komentar