Kumpulan Budak Setan
Judul : Kumpulan Budak Setan
Penulis : Eka Kurniawan, Intan Paramaditha,
dan Ugoran Prasad
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-602-03-3364-9
Tahun Terbit : 2016
Tebal : 174 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-602-03-3364-9
Tahun Terbit : 2016
Tebal : 174 halaman
Dimensi Buku : 14 x 21 cm
Urutan
Cetakan: Kedua
Kumpulan
Budak Setan, kompilasi cerita horor Eka Kurniawan,
Intan Paramaditha, dan Ugoran Prasad, adalah proyek membaca ulang karya-karya
Abdullah Harahap, penulis horor populer yang produktif di era 1970-1980an. Dua
belas cerpen di dalamnya mengolah tema-tema khas Abdullah Harahap -- balas
dendam, seks, pembunuhan -- serta motif-motif berupa setan, arwah penasaran,
obyek gaib (jimat, topeng, susuk), dan manusia jadi-jadian.
Kupejamkan kembali mataku dan kubayangkan apa yang dilakukannya di balik punggungku. Mungkin ia berbaring telentang? Mungkin ia sedang memandangiku? Aku merasakan sehembus napas menerpa punggungku. Akhirnya aku berbisik pelan, hingga kupingku pun nyaris tak mendengar: “Ina Mia?” ("Riwayat Kesendirian,” Eka Kurniawan)
Jilbabnya putih kusam, membingkai wajahnya yang tertutup bedak putih murahan – lebih mirip terigu menggumpal tersapu air – dan gincu merah tak rata serupa darah yang baru dihapus. Orang kampung tak yakin apakah mereka sedang melihat bibir yang tersenyum atau meringis kesakitan. (“Goyang Penasaran,” Intan Paramaditha)
“Duluan mana ayam atau telur,” gumam Moko pelan. Intonasinya datar sehingga kalimat itu tak menjadi kalimat tanya. Laki-laki yang ia cekal tak tahu harus bilang apa, tengadah dan menatap ngeri pada pisau berkilat di tangannya. Moko tak menunggu laki-laki itu bersuara, menancapkan pisaunya cepat ke arah leher mangsanya. Sekali. Sekali lagi. Lagi.
Darah di mana-mana. (“Hidung Iblis,” Ugoran Prasad)
Kupejamkan kembali mataku dan kubayangkan apa yang dilakukannya di balik punggungku. Mungkin ia berbaring telentang? Mungkin ia sedang memandangiku? Aku merasakan sehembus napas menerpa punggungku. Akhirnya aku berbisik pelan, hingga kupingku pun nyaris tak mendengar: “Ina Mia?” ("Riwayat Kesendirian,” Eka Kurniawan)
Jilbabnya putih kusam, membingkai wajahnya yang tertutup bedak putih murahan – lebih mirip terigu menggumpal tersapu air – dan gincu merah tak rata serupa darah yang baru dihapus. Orang kampung tak yakin apakah mereka sedang melihat bibir yang tersenyum atau meringis kesakitan. (“Goyang Penasaran,” Intan Paramaditha)
“Duluan mana ayam atau telur,” gumam Moko pelan. Intonasinya datar sehingga kalimat itu tak menjadi kalimat tanya. Laki-laki yang ia cekal tak tahu harus bilang apa, tengadah dan menatap ngeri pada pisau berkilat di tangannya. Moko tak menunggu laki-laki itu bersuara, menancapkan pisaunya cepat ke arah leher mangsanya. Sekali. Sekali lagi. Lagi.
Darah di mana-mana. (“Hidung Iblis,” Ugoran Prasad)
Kumpulan Budak Setan
merupakan buku kumcer genre horor. Horor tak melulu soal hantu, tetapi juga
ruang liyan yang menciptakan kemungkinan runtuhnya “realitas” yang seharusnya,
tatanan yang kita percaya. Horor beroperasi tak hanya dalam cerita setan, tapi
juga dalam retorika politik (misalnya saja penggunaan moda horor dalam film
sejarah Pengkhianatan G30S/PKI, atau, di tataran global, narasi seputar
peristiwa 9/11) maupun hubungan personal dan sosial yang sepintas lalu tak
berbahaya.
Kumpulan Budak Setan
ditulis oleh tiga sekawan; Eka Kurniawan, Intan Paramaditha, dan Ugoran Prasad yang
berbeda-beda lokasi: Jakarta, Yogyakarta, New York. Ceritanya digarap dari
pengalaman membaca cerita-cerita milik Abdullah Harahap. Ya, Abdullah Harahap.
Dalam
BAB Pertama, Eka Kurniawan muai bercerita dengan penuturan khasnya pelan tapi
pasti dalam mengangkat kengerian dalam ceritanya (Penjaga Malam, Taman Patah Hati, Riwayat Kesendirian, Jimat Sero).
Selanjutnya,
Intan Paramaditha menuliskan ceritanya secara lebih sadis dan mencekam (Goyang Penasaran, Apel dan Pisau, Pintu, Si
Manis dan Lelaki Ketujuh).
Terakhir,
Ugoran Prasad menjadikan ceritanya cerita yang paling ditunggu-tunggu dan klimaks serta liar dalam setiap ide-ide
ceritanya (Penjaga Bioskop, Hantu Nancy.
Topeng Darah, Hidung Iblis).
Saya merasa ngeri, haru, bahakan jijik, dan kagum
juga dengan ide ceritanya. Cerita yang ditulis seolah nyata dan tidak nyata,
seolah dekat di sekitar kita. Kumpulan Budak Setan saya
rekomendasikan untuk pecandu buku yang sudah usia dewasa dan suka cerita bergenre
horor dengan cerita bermuatan seksual kental dan penuh kekerasan.
Semestinya
aku tak datang, tapi dorongan itu---dorongan asing dari luar diriku yang
terus merongrong---membuatku ingin menemuinya terakhir kali. Seperti seorang
pecandu, kuyakini ini sebagai ritual penghabisan sebelum kubereskan hidupku.
Semacam ucapan selamat tinggal pada kejahatan yang pernah merayu dan tak akan
kucicipi lagi. Akhir dongeng adalah kompromi, demikian ia bersabda.
(Si Manis dan Lelaki Ketujuh, Intan Paramaditha).
Komentar
Posting Komentar