Rembulan Tenggelam di Wajahmu

Judul               : Rembulan Tenggelam di Wajahmu
Pengarang       : Tere Liye
Penerbit           : Republika
Cetakan           : XXVII, Juni 2016
Ukura              : 20,5 x 13,5 cm
Tebal               : 426 halaman

“Kita bisa menukar banyak hal menyakitkan yang dilakukan orang lain dengan sesuatu yang lebih hakiki, lebih abadi. Rasa sakit yang timbul karena perbuatan aniaya dan menyakitkan itu sementara. Pemahaman dan penerimaan tulus dari kejadian menyakitkan itulah yang abadi. Benar, kau bisa memilih untuk menerimanya.”

***
Mengapa hidup ini tidak adil? Mengapa hidup ini terasa sangat hampa dan kosong padahal kita memiliki kekayaan yang kita inginkan? Apa arti dari sebuah kehilangan? Novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu menceritakan tentang kehidupan anak yatim piatu bernama Ray, yang memiliki 5 pertanyaan besar yang setiap malam selalu muncul dikepalanya.

Pertanyaan pertamanya membawanya ke Panti asuhan yang menjadi tempat baginya tumbuh selama enam belas tahun. Ray yang bernama asli Rehan tumbuh dengan kebenciannya pada penjaga Panti yang ia sebut ‘sok suci’ karena menghalalkan segala cara termasuk korupsi uang sumbangan dan mempekerjakan para yatim piatu hanya untuk biayanya pergi haji. Jika anak lain tumbuh menjadi penurut, Ray malah tumbuh menjadi pembangkang sehingga ia seering dilucuti pakai rotan sampai sakit demam berminggu-minggu. Kenapa ia harus dibesarkan di panti ini disekian banyak panti? Kenapa ia harus menghabiskan enam belas tahunnya di panti terkutuk itu?

Sebab-akibat itulah penjelasan dari pertanyaan pertamanya. Ray lah yang menjadi penyebab Diar anak yatim piatu yang sekamar dengan Ray yang begitu menghormatinya, dijemput seribu malaikat menjelang ajalnya. Diarlah, yang menyebabkan hati penjaga Panti yang telah lama beku menjadi luluh. Setelah melarikan diri dari panti asuhan dan dalam perjalanannya yang panjang ia berakhir di Rumah Singgah. Untuk pertama kalinya Ray merasakan kebahagiaan memiliki keluarga. Ada Bang Ape yang bijak, Natan yang pintar menyanyi, Ilham yang jago melukis, dan si kembar Ouda dan Oude yang periang dan suka berceloteh. Tapi semua kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Ia melarikan diri dari Rumah Singgah meskipun tak ada yang melarangnya, setelah perkelahiannya dengan preman-preman pasar yang sebelumnya merusak lukisan Ilham yang akan dipamerkan dan juga memukuli Natan hingga menghancurkan mimpinya jadi penyanyi. Setelah melarikan diri, ia menghabiskan hari-harinya di bantaran kali dan bekerja sebagai pengamen, pekerjaannya bersama Natan dulu. Ia selalu melakukan kebiasaannya semenjak dari panti dulu, yaitu menatap rembulan. Saat di panti ia menatap rembulan, saat di rumah singgah ia melakukannya juga di atap Rumah Singgahnya, dan kali ini, ia menatap rembulan di atas tower di bantaran kali.

Di bantaran kali itulah Ray bertemu dengan Plee, yang kemudian menawarinya dalam sebuah rencana pencurian berlian seribu karat. Rencana itu terdengar tidak akan gagal, namun nyatanya Plee membuat dua kesalahan yang menyebabkan kaki Ray tertembak. Meskipun Ray berhasil diselamatkan, keesokan harinya polisi mengepung mereka. Plee menyembunyikan Ray di kamar rahasia dan menembak pahanya sendiri, menyerahkan diri dan mengakui bahwa itu adalah perbuatannya sendiri. Ray yang tahu Plee telah ditangkap tidak berani menyerahkan diri. Setelah enam tahun sidang yang panjang, Plee mendapat hukuman mati dan Ray yang tak sanggup melihat semua itu melarikan diri dari sana, pergi tepat di hari hukuman mati Plee.

Dalam perjalanannya pergi ia bertemu dengan cinta pertamanya. Ray yang kini menjadi tukang bangunan secara tak sengaja melihat lagi gadis itu pergi ke rumah sakit. Singkat cerita Ray selalu pergi menemuinya dan menyembuhkan lukanya padanya, juga datang ke rumahnya di jadwal yang telah ditentukan oleh gadis itu sendiri. Ray tetap dengan senang hati mengunjungi gadis pujaannya itu, meskipun gadis itu tak pernah memberikan perhatian padanya, tetap berwajah datar dan tak berekspresi.Suatu ketika Ray datang di waktu yang bukan jadwalnya dan mengetahui kebenaran tentang gadis itu. Disanalah pengakuan terjadi. Gadis itu mengakui segalanya bahwa ia adalah wanita simpanan dengan masa lalu yang sangat buruk, dan dari sana Ray menyadari, bahwa masa lalunya juga sama buruknya. Di sana Ray pun menceritakan semua masa lalunya yang kelam, dan singkat cerita mereka saling memaafkan dan akhirnya menikah.

Pernikahan mereka adalah pernikahan yang bahagia. Pekerjaan Ray bekerja pesat hari demi hari, bahkan kini menjadi kepala mandor. Istrinya yang sejak dulu hobi membuat Puding Pisang juga mulai menjadikannya bisnis. Bahkan mereka punya julukan masing-masing. Istrinya memanggil Ray Si Ceroboh, dan Ray memanggil istrinya dengan sebutan Si Gigi Kelinci. Keluarga mereka bahagia. Bahkan ketika Ray menjajikan istrinya berbagai hal, istrinya yang telah banyak berubah selalu mengatakan, “asal kau ridha padaku, itu sudah cukup.” Tapi masalah itu datang. Istrinya yang telah hamil mengalami keguguran. Bayi pertama mereka meninggal. Tapi kebahagiaan kembali datang. Beberapa waktu kemudian istrinya hamil lagi, dan Ray sudah mempersiapkan segalanya dengan matang. Dan masalah itu tetap datang. Bahkan tak tanggung-tanggung, kali ini Ray kehilangan istri dan anaknya sekaligus. Ray tak mengerti, kenapa kebahagiannya, lagi lagi harus direnggut dengan kejamnya? Kenapa takdir menyedihkan lagi lagi harus terjadi padanya? Kenapa Tuhan harus mengambil istrinya? Itulah pertanyaan ketiga Ray.

Ray tahu bahwa penyebab dari kematian kedua orang tuanya adalah kebakaran yang disengaja, yang ia ketahui dari potongan koran yang ia curi dari berkas Panti, dan potongan koran itulah sumber dari pertanyaan keduanya, kenapa hidup ini tak adil baginya?

Kenapa mereka harus membakar pemukiman orangtuanya hingga ia tumbuh yatim piatu, kenapa preman-preman itu harus menghancurkan mimpi Ilham dan Natan hingga ia pergi dari kehidupan menyenangkan di Rumah Singgah, kenapa rencananya dengan Plee gagal dan sahabatnya sendiri itu dieksekusi, dan mengapa kedua anaknya juga istrinya yang amat ia cintai harus direnggut oleh kematian.

Orang dengan wajah menyenangkan itu menjelaskan semuanya, bahkan menjelaskan juga kejadian kebakaran yang disengaja itu. Banyak sekali pelajaran yang dapat diambil dari semua kejadian yang menimpa Ray ini yang kemungkinan besar juga kita alami. Di setiap jawaban, pembaca akan tergelak sendiri karena kesadaran bahwa mereka juga kadang seperti Ray, yang berburuk sangka, mengutuk Tuhan, berbuat jahat demi pembenaran, kenapa orang yang kita cintai harus direnggut dari kita, juga mempertanyakan kenapa takdir menyakitkan harus selalu dialami, lagi dan lagi.

Kembali ke cerita, demi melupakan kenangan istrinya, Ray memutuskan untuk bekerja banting tulang. Ray menjadi seorang pemilik gedung yang mengendalikan, menyingkirkan lawan-lawannya, benar-benar membatukan dirinya dalam pekerjaan. Ia kini bahkan mempunyai gedung tertinggi dimana ia bisa melakukan lagi kebiasaannya, menatap rembulan. Ray tak mengerti. Setelah ia bekerja begitu keras dan kini memiliki segalanya, ia merasa tak cukup. Disaat muda dulu, ia berpikir betapa bahagianya orang-orang kaya diluar sana, tapi sekarang ketika ia memiliki semuanya, ia merasa hampa. Itulah pertanyaan keempatnya. Kenapa semuanya terasa hampa. Siklus mengerikan dunia. Ray terjebak dalam siklus itu, hingga ia tak pernah merasa puas dengan apa yang didapatnya, itulah jawaban atas pertanyaan keempatnya.

Setelah orang-orang terdekatnya seperti Koh Cheu – orang yang menyelamatkan bisnisnya dari kebangkrutan, istri Koh Cheu, dan Vin – cucu Koh Cheu yang menyimpan rasa padanya tapi tak pernah terbalas, membuat Ray semakin terlarut dalam pekerjaan. Tapi cobaan itu seolah tak pernah berhenti. Meskipun perawakan Ray kekar penyakit satu per satu mulai mendatanginya. Keluar-masuk rumah sakit sudah menjadi keseharian, dan hari makin hari penyakit itu semakin menggerogotinya, bukan saja fisiknya tapi terutama mentalnya. Kenapa? Setelah semua takdir menyakitkan dan semua pahit getirnya hidup yang telah dialami Ray, sekarang dikesendiriannya ia harus menderita semua penyakit mengerikan itu. Kenapa? Itulah pertanyaan kelimanya.

Ray memang beruntung sekali mendapat kesempatan untuk melihat kronologis yang sesungguhnya, kronologis yang tidak disangkanya. Berjalan-jalan dengan orang yang berwajah menyenangkan tersebut di alam lain, diberi kesempatan untuk mendengar jawaban yang bijak dari orang tersebut. ya! lima. Tentang lima pertanyaan yang mengganjal di hidupnya. Semua terjawab secara sempurna.

Mengapa Ray berhak mendapatkan kesempatan perjalanan mengenang masa lalau? Itu semua karena rembulan. Setiap kali Ray memandangnya, ia selalu berterimakasih kepada Tuhan . Setiap kali ia menyimaknya, ia selalu merasa kuasa Tuhan menjejak setiap sudut bumi di mana cahaya rembulan menyentuhnya. Ray memiliki cara berinteraksi yang luar biasa dengan kuasa langit. Ray memang mengutuk, membantah, berprasangka buruk kepada Tuhan, tetapi ia jujur. Ia tak pernah berdusta saat menatap rembulan. Tidak pernah munafik. Apa adanya..

Kau benar, Ray! Ada satu janji Tuhan. Janji Tuhan yang sungguh hebat... Yang nilainya beribu kali tak terhingga dibandingkan menatap rembulan ciptaan-Nya... Tahukah kau? Itulah janji menatap wajahNya... Menatap wajah Allah! Tanpa tabir, tanpa pembatas... Saat itu terjadi maka sungguh seluruh rembulan di semesta alam akan tenggelam. Sungguh seluruh pesona dunia akan layu... Janji yang sungguh hebat... Percayalah selalu atas janji itu, maka hidup kita setiap hari akan terasa indah.

***

Buku ini menyimpan banyak pesan moral yang disampaikan secara sederhana tentang kehidupan dan mampu menyentuh hati pembacanya, dan buku ini cocok dibaca bagi siapapun yang pernah merasa hidupnya tak adil, merasa kehilangan, ataupun merasa hampa.

Alur campuran (maju-mundur) yang digunakan Tere Liye dalam Novel ini menarik untuk diikuti walau pada bagian awalnya munhkin sedikit membingungkan pembacanya. Gaya bahasa yang mudah dipahami memudahkan untuk merangkaikan bagian-bagian cerita.
Selamat membaca J

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi dan Sinopsis Novel Matahari - Tere Liye

Terbiasa dengan Luka

Hai, Aku Matilda