Seperti Para Penyair


"Yup, teruslah begitu, cerah jiwanya, mendalam sukmanya!" - Sabiq Carebesth

Ia kerap membalas mention-mention penggemarnya di twitter (termasuk aku). Ia tetap membalas ketika ada tweeps iseng yang suka berkomentar di postingan beliau (baca: aku) 😁 Lucu jalan ceritanya kalau diceritain pas dari buku belum terbit sampai buku sudah terbit, dan sampai ke pelukan. Minta buku yang edisi tanda tangan (dapat komentar seperti yang di atas), minta pengurangan harga wkwk beliau dengan sabar melayani tweeps jahil ini, kadang ia juga berkomentar menganjurkan minum kopi (entah untuk apa) atau berkomentar emoticon ini (read: 😁). Gak tau kenapa berasa dekat sama penyair yg satu ini (@sabiqcarebesth)  wkwk 😂😂

Menikmati puisi seperti menikmati secangkir teh. Menikmati aromanya, menyesapi perlahan-lahan teguk demi teguk, dan merasakan kelegaannya. Tertinggal rasa manis di ujung lidah. Jeda sejenak, lalu menyesapnya lagi. Begitu terus sampai tandas.

Begitu juga puisi, tidak habis sekali duduk. Cara menikmati puisi paling sungguh adalah dengan membacanya perlahan-lahan, menyesapi setiap kata demi kata, meresapinya dalam hati dan meninggalkan kesan di dada.

"Puisi adalah jembatan sepi
Di ujungnya sunyi menali
Setiap hati kan juga kembali
Dan puisi adalah hati
Tak memerlukan kata atau arti"
(Hlm. 59)

Buku puisi ini bercerita tentang apa saja, tentangku, tentangmu, tentangnya, lautan, Mei, angin, bibirmu, lagu-lagu yang kau cipta, rindu, perjumpaan, masa remaja, sepi, kabut di dada, kartu pos, segelas kopi, subuh, cicak di dinding, dan lain lain.

(Hlm. 104)
"Sebelum waktu jadi penghabisan
Baik pejamkan matamu
Di antara derai hujan
Kan kujemput kau dari kerinduan
Walau ribuan jalan menikung
dan aku tersesat lagi" diantara puisi-puisimu

Ku kan menikmati larik-larik puisimu, semoga agak manis dan suatu saat bukan hanya "seperti para penyair" tapi "sudah menjadi penyair" 😁

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi dan Sinopsis Novel Matahari - Tere Liye

Terbiasa dengan Luka

Hai, Aku Matilda